ADVERTISING

Sunday, October 21, 2018

Makna Sakral Tari Gandrung yang Ditolak FPI di Banyuwangi

Makna Sakral Tari Gandrung yang Ditolak FPI di Banyuwangi

Tari tradisional asal Banyuwangi, tari gandrung menjadi perbincangan setelah Front Pembela Islam (FPI) menolak keberadaan tarian daerah tersebut dalam acara Gandrung Sewu yang akan digelar Sabtu (20/10).

Padahal, seni tari gandrung itu sendiri sejatinya merupakan bentuk ungkapan syukur dari masyarakat agraris atau yang berlandaskan pertanian atas kesuburan atau pun hasil panen.

Acara Gandrung Sewu merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan oleh Pemerintah Banyuwangi sebagai upaya mempromosikan kebudayaan dan mendongkrak pariwisata di daerah ujung timur pulau Jawa itu. 


Acara itu diketahui sudah dilaksanakan tujuh kali di tempat yang sama, Pantai Boom Banyuwangi. Rencananya, sebanyak 1.300 penari akan menarikan lenggokan tari gandrung.

FPI setempat menilai bahwa menampilkan tarian tersebut di tengah kondisi Indonesia yang diterpa banyak bencana tidaklah elok. 

"Maksudnya adalah kami mengingatkan agar kita tidak diazab oleh Allah karena mengumbar kemaksiatan seperti itu. Kejadian bencana di Palu harus menjadi cermin bagi kita warga Banyuwangi," kata Ketua DPW FPI Banyuwangi H Agus Iskandar kepada media, Kamis (18/10) lalu.

Akademisi dan pengajar Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, Nursilah menjabarkan kepada CNNIndonesia.com makna sesungguhnya dari seni tari yang ternyata sudah berlangsung sejak era sebelum agama hadir di Indonesia itu.

"Hampir semua seni pertunjukan di Asia atau dunia berasal dari ritual totem yaitu penghormatan kepada makhluk yang dianggap berpengaruh terhadap kehidupan manusia," kata Nursilah saat dihubungi, Jumat (19/10).

Nursilah menyebut totem inilah yang kerap dikenal masyarakat kini sebagai makhluk mitologi, seperti kuda bersayap atau ular berkaki. Mereka dianggap memiliki kekuatan melebihi manusia dan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.



Bentuk Syukur

Lambat laun, kepercayaan tersebut menimbulkan kesenian yang dibuat oleh masyarakat setempat secara bertahap sehingga menimbulkan pola atau gerakan atau karya tertentu, salah satunya ritual. 

Ritual ini bukan hal yang sembarangan. Masyarakat zaman dulu memahami ketika kehidupan mereka tak seimbang, seperti adanya bencana atau kebutuhan primer yang tak tercukupi, ada hal yang tak beres.

Sehingga, kata Nursilah, masyarakat membuat totem itu menjadi target penghormatan dan memunculkan ritual, salah satunya tarian. 

Dalam masyarakat yang hidup berlandaskan pertanian, muncul tarian untuk memberikan penghormatan dan syukur kepada Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi kesuburan yang memberikan hasil panen kepada masyarakat.

"Bentuk tari kesuburan hampir seluruh dunia ada, semua belahan Bumi ada," kata Nursilah.

Salah satu dari ritual tersebut adalah tari gandrung yang kini menjadi perbincangan. Bila di Banyuwangi ucapan syukur dan penghormatan untuk Dewi Sri berupa tari gandrung, di daerah lainnya bisa dalam bentuk berbeda. "Kalau di Jawa Barat, itu [tari] ronggeng," kata Nursilah.

Nursilah menyebut kebudayaan ini menghadapi tantangannya sendiri kala agama masuk ke Nusantara. 

Ia mengatakan kebudayaan ritual seperti tari gandrung mendapatkan kejayaan kala era agama Hindu-Budha yang memang memiliki kedekatan dengan kepercayaan terhadap dewa, ritual, mantra, dan sebagainya. 

Ketika agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi, pandangan terhadap kebudayaan ini disebut Nursilah memang terpecah. 

Ada pihak penyiar agama Islam yang masih memberikan ruang berkesenian namun disisipkan nilai juga materi agama Islam seperti yang dilakukan oleh kelompok Wali Songo di Jawa. Namun ada pula yang secara ekstrem menentang.
Awalnya Laki-laki

Nursilah kemudian menjelaskan bahwa pada awal abad ke-20 Masehi, penari tari gandrung mulai mengalami perubahan. Awalnya, tarian ini dimainkan oleh laki-laki karena sebagai bentuk ritual suci, perempuan memiliki momen biologis yang dinilai menghalangi mereka mengikuti ritual ini.

"Itu juga berlaku tidak hanya di tari gandrung. Itu bermula eranya Kerajaan Majapahit, hampir seluruh wanita ditabukan menari karena dianggap tidak etis. Awalnya bukan masalah etika, tetapi penari sebagai media upacara," kata Nursilah.

Namun ternyata tak selamanya kaum Adam bertahan pada tarian tersebut. Lambat laut, laki-laki tak lagi berminat untuk menampilkan tarian. Di sisi lain, muncul anggapan bahwa kaum perempuan lebih menarik untuk tampil menari.

Nursilah tak menampik tarian ini kemudian sempat terkena kesan negatif, yaitu sebagai sarana awal aktivitas prostitusi. Namun ia menyebut hal itu terjadi pada kesenian yang tujuannya untuk kesuburan, bukan hanya tari gandrung.

"Karena [tari gandrung] menarinya kan dari jam sembilan [malam] sampai empat subuh, kemudian penari dikelilingi laki-laki, dan ada gerakan-gerakan erotisme," kata Nursilah.

"Lalu setelah menari, para penari bisa diajak pergi. itu realita. Dan justru mereka ingin dapat penghasilan tambah dari kegiatan itu. Itu tidak jadi rahasia, semua orang tahu. Kondisinya begitu," lanjutnya.

Kini, tari gandrung lebih banyak dimainkan dalam kegiatan pariwisata dan dalam kegiatan-kegiatan tertentu di masyarakat, misalnya untuk acara pernikahan, sunatan, dan pemerintahan.

Tari gandrung disebut Nursilah masih akan ada di Banyuwangi. Bukan hanya karena karya dari masyarakatnya, namun tarian itu dibutuhkan. "Dilarang sekalipun mereka akan tetap cari regulasi untuk masih bisa jalan," kata Nursilah.



Tak Perlu Membasmi

Nursilah juga mengungkapkan pendapat dan keprihatinannya akan protes yang dilayangkan segolongan kelompok masyarakat, apalagi menganggap kesenian yang ditampilkan berkaitan dengan bencana yang terjadi di Indonesia.

"Sebetulnya enggak usah begitu, keberagaman itu enggak begitu. Wali Songo saja tidak membasmi, mereka malah pakai [kesenian] untuk syiar agama. Kan tinggal bagaimana cara menyampaikan," kata Nursilah.

Sebagai orang budaya, Nursilah menyampaikan keprihatinannya bahwa masyarakat dan budaya Indonesia yang beragam seolah 'dipaksa' untuk mengikuti satu paham tertentu.

"Budaya itu beserta konteksnya masing-masing, kalau budayanya mengekspresikan agama tertentu ya itu ekspresi budaya sesuai agamanya. Kalau memang tidak setuju, jangan lakukan, tapi juga jangan mengganggu orang yang melakukan," kata Nursilah.

No comments:

Post a Comment